Selasa, 07 Februari 2012

Belajar Ilmu Hidup

Hari sabtu lalu bertepatan dengan tanggal 4 Februari 2011 sudah menjadi rutinitas untuk IMG-ITB mengadakan acaraq career day, suatu acara yang bersifat mengakrabkan mahasiswa geodesi dengan dunia keprofesian dan keilmuannya yang disampaikan oleh alumni geodesi sendiri. Ada hal yang berbeda dibandingkan career day sebelumnya dan inilah yang menjadi daya tariknya terutama bagi saya sendiri. Sekitar 30an mahasiswa geodesi hadir dalam acara career day di ruangan 3101, gedung geodesi. Dan semuanya dibuat terkesima saat yang menjadi pembicara adalah Bapak Syahganda Nainggolan, beliau ini bukan bergelar insinyur dan bukan tamatan geodesi ITB. Kok bisa jadi pembicara? Inilah hal yang menarik. Sekilas cerita tentang beliau, beliau masuk ITB angkatan 1984 dan di tahun yang sama menjadi anggota IMG-ITB. Rezim pemerintah yang ada saat itu membuat beliau dengan beberapa temannya melakukan pergolakan yang membuat beliau dipenjara dan dikeluarkan dari ITB pada tahun 1989 bersama dengan 12 orang mahasiswa ITB lainnya. Tidak berhenti sampai disitu saja perjuangan beliau melakukan perlawanan terhadap rezim penguasa tapi terus hingga rezim pemerintahan tersebut tumbang pada tahun 1998. Lalu bagaimana dengan dunia akademis beliau? Ternyata tidak satupun beliau sempat menamatkan gelar baru setelah tahun 1998 beliau memulai lagi pendidikannya dengan memulai studi di bidang hukum, dilanjutkan dengan studi pembangunan di ITB dan sekarang sedang mengambil kebijakan publik di UI. Beberapa jabatan yang beliau pernah duduki seperti komisaris PT.Pelindo II dan wakil sekjen ICMI(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan sekarang beliau aktif mengurusi SMC(Sabang Merauke Circle) suatu LSM yang bergerak di bidang isu nasionalisme, daya saing dan kejetahreaan rakyat. 

Berarti sudah jelas secara keprofesian dan keilmuan geodesi beliau ini bukan ahlinya untuk menjelaskan hal-hal tersebut. Tapi ada hal yang menurut saya paling menarik yaitu selama kuliah di ITB beliau lebih banyak kuliah kehidupannya dibandingkan geodesinya. Dan ilmu hidup tersebut yang beliau tekuni terus hingga hari career day tersebut. Ilmu hidup tersebut terdiri dari tiga hal menurut beliau, yaitu jaringan(network), kemampuan manajerial(leadership) dan barang hasil(product). Ketiga hal tersebut justru jauh lebih berperan dibandingkan dengan keilmuan geodesi sendiri. Berkali-kali beliau berpesan untuk terus belajar ilmu hidup dan jangan pernah dilupakan.

Ilmu hidup tersebut terdiri dari tiga hal menurut beliau, yaitu jaringan (network), kemampuan manajerial (leadership) dan barang hasil (product) -Syahganda Nainggolan

Setelah beliau selesai memaparkan malang-melintangnya hidup beliau dibukalah sesi tanya jawab. Sontak, saya langsung berinisiatif untuk bertanya. Sebelumnya, dulu sekali saya pernah bertanya secara pribadi dengan beliau tentang pendidikan kaum kurang mampu yang hidup di sekitar Dago, Bandung . Saat itu saya belum mengerti kalau beliau ini adalah seorang aktivis yang "sementereng" ini, yang saya lihat waktu itu adalah beliau alumni teknik geodesi ITB(tidak mengerti kalau dikeluarkan) dan aktif di bidang sosial dilihat dari info yang saya dapat di facebook. Kembali ke pertanyaan yang saya ajukan. Sebenarnya ada empat pertanyaan yang ada dalam benak saya namun setelah ditinjau ulang, saya putuskan untuk menanyakan cukup dua pertanyaan, yaitu:

  1. Apa alasan Bapak hendak menurunkan rezim Soeharto?
  2. Dimana posisi dan peran dari karakter dan moral di antara ketiga hal yang menjadi ilmu hidup, yaitu jaringan, kemampuan manajerial dan barang hasil/produk?
Dengan cepat, beliau pun memberikan jawaban. Entah mengapa saya tertarik dengan tipe orang seperti beliau ini, dalam pikiran saya pastinya perjuangan yang telah beliau lalui ini entah berapa kali jatuhnya dibanding dengan berdirinya kembali. Jawaban untuk pertanyaan pertama mungkin sudah banyak dari kita yang cukup mengerti, ada dua sebab beliau sebutkan yaitu jumlah dana yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pembangunan yang dilakukan dan sebab kedua adalah pemerintahan tersebut salah arah sehingga kekayaan pemerintah hanya dinikmati oleh sebagian orang saja dalam lingkaran kekuasaan saat itu. Kedua sebab tersebut menjadikan Soeharto musuh bersama sehingga muncul istilah tungto yaitu gantung Soeharto yang dimaksudkan untuk mengakhiri rezim Soeharto. Jujur, pertanyaan kedua juga membuat saya bingung ada emosi dan bisa ditarik garis masuk ke dalam ranah agama.  Namun dengan beberapa pertimbangan tetap saya tanyakan dan beliau pun menjawab, Bill Gates pun sempat menyesal karena beberapa hasil temuannya memberikan efek yang tidak baik oleh karenanya setengah dari hartanya disumbangkan untuk kepentingan sosial sama halnya dengan Warren Buffet yang menyumbangkan hartanya juga untuk kepentingan sosial. Peran dan posisi dari moral dan karakter menjadi sangat penting di jaman sekarang dimana arus informasi berkembang sangat pesat. Setiap tujuan yang baik bisa memunculkan side effect hal-hal yang buruk. Sehingga tidak hanya berorientasi pada diri sendiri tapi juga lingkungan sekitar dengan semangat berbagi. Tidak hanya untuk sekarang tapi juga seterusnya karakter dan moral memegang peran yang penting. Jawaban yang saya tarik sebagai kesimpulan kalau karakter dan moral itu penting dan akan menentukan arah dari aplikasi ilmu hidup.



Dilanjutkan pertanyaan-pertanyaan lainnya, ada yang tertarik dengan jaman beliau menjadi mahasiswa, ada juga yang menanyakan peran geodesi secara umum dalam pembangunan Indonesia. Saya pribadi mendapat dua kesimpulan dari "obrolan" menarik dengan Pak Syahganda. Pertama, dulu terdapat kaum intelek yang memiliki musuh bersama yang disebut pemerintah Soeharto sekarang musuh tersebut adalah diri kita masing-masing yang sibuk memikirkan diri masing-masing. Kedua, penting untuk megetahui ilmu hidup dengan definisi masing-masing karena saya yakin ilmu hidup tersebut pasti berkembang dan hidup dalam tiap-tiap insan manusia secara parsial. 

Satu hal yang saya sadari saat ini adalah suatu rangkaian kata penuh makna yang tertulis, "memberikan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara dan dunia". Saya sadar, saya tidak perlu menjadi yang terbaik untuk memberikan yang terbaik juga tidak perlu menggemparkan dunia tapi cukup berkarya untuk masyarakat.

Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.
-Maundri Prihanggo