Cerita Dibalik Pedagang Kaki Lima
Siapa di antara kita yang tidak
pernah makan makanan yang dijajakan di pinggir jalan? Entah itu hanya sekedar
minuman dan jajanan ringan ataupun makanan berat untuk mengisi tenaga sebagai
bekal melanjutkan aktivitas kita. Saya rasa dari jaman saya kecil hingga
sekarang, mayoritas orang Indonesia pasti mengenal yang namanya Pedagang Kaki
Lima. Bila disesuaikan dengan pertanyaan sebelumnya, yang tidak tahu Pedagang
Kaki Lima mungkin belum pernah merasakan nikmatnya bersantap di pinggir jalan
dengan harga yang sesuai ukuran kantong juga dalam suasana kekeluargaan yang
santai.
Banyak dari kita yang dapat mudah
mengenali yang mana Pedagang Kaki Lima namun bila ditanya pengertiannya mungkin
perpustakaan atau toko buku menjadi tempat pelarian yang pas padahal hampir
setiap hari kita melihat Pedagang Kaki Lima. Menurut Perda No.4 Tahun 2011
tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima merupakan pedagang yang
melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum
baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak
maupun tidak bergerak. Lalu muncul lagi pertanyaan, apa itu sektor informal?
Akan sangat banyak sekali informasi dan definisi mengenai sektor informal yang
berperan dalam bidang ekonomi. Menurut World Bank, ekonomi informal adalah
bagian yang berkembang dari ekonomi lokal dan nasional walaupun pendapatan
biasanya rendah tapi secara kolektif mereka sangat bernilai yang dibagi kedalam
empat kategori yaitu:
- 1. Pekerjaan
berbasis di rumah
- 2. Pedagang
Kaki Lima
- 3. Pekerja
keliling/terganting permintaan/temporer di lokasi konstruksi gedung atau jalan
- 4. Mereka
yang bekerja di antara rumah dan jalanan
- Keseluruhan ekonomi informal ini
dapat dikatakan tidak teratur, tidak terdaftar dan tidak terlindungi (Breman,
1980).
Gambar 1. Bentuk sektor
ekonomi informal, sumber: www.google.com
Oke, sekarang mari kita lihat
sekitar kita.
Di indonesia sendiri, dalam tiga
dekade terakhir jumlah pekerja informal terus meningkat mulai dari 25% ditahun
1971 menjadi 36% dan 42% ditahun 1980 dan 1990 setelah krisis moneter bahkan
semakin menjadi-jadi yaitu melebihi 60% di tahun 1999 dan terus meningkat
hingga 70% pada tahun 2007 (diolah dari data BPS 2003 dan 2008). Hal yang sama
juga terjadi di Jawa Barat yang terus mengalami peningkatan hingga tahun 2007,
tercatat umlah pekerja informal bertambah dari 63.8% di tahun 2005 menjadi
64.3% di tahun 2006 dan akhirnya mencapai 65.4% di tahun 2007 dari total
penduduk Jawa Barat.
Yang lebih menarik lagi ternyata,
keberadaan pekerja informal berkontribusi secara tidak langsung terhadap
pengentasan kemiskinan karena mayoritas yang bekerja pada sektor informal
berasal dari strata masyarakat yang paling miskin. Dalam keberjalanannya,
Pedagang Kaki Lima pun memiliki julukan lain yaitu Pekerja Kreatif Lapangan
karena menjadi sebuah alternatid pekerjaan yang cukup populer terutama di
kalangan kelompok miskin kota (Resmi Setia, 2008)
Kondisi Bandung dan Sekitarnya
Kota Bandung, sebagai Ibu Kota
Jawa Barat tentunya memiliki daya tarik sendiri bagi orang Indonesia apalagi
Pedagang Kaki Lima. Semenjak adanya Tol Cipularang, arus kendaraan di kota
Bandung dan sekitarnya mendadak menjadi ramai. Kemudahan akses kota Bandung dan
sekitarnya terhadap daerah lain khususnya Jakarta membuat orang dengan berbagai
macam kepentingan dapat dengan mudah pulang pergi dari Bandung. Hal tersebut
tentunya menjadi peluang bagi para Pedagang Kaki Lima ini. sayangnya peluang tersebut dilakukan dalam
bentuk yang tidak rapi bisa dibilang Pedagang Kaki Lima tersebut tidak
terwadahi dalam ruang publik yang formal sehingga menempati lahan-lahan publik
dan memanfaatkan lokasi yang cukup strategis untuk berjualan juga memanfaatkan
lokasi yang cukup strategis dimana terdapat celah juga dari aparat penegak
hukum yang kurang menerapkan hukum yang seharusnya berlaku.
Gambar 2. Penggusuran Pedagang Kaki
Lima, sumber www.masaguz.com
Ada banyak pandangan mengenai
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung. Bila ditengok dari sisi negatifnya maka
bahaya yang timbul dapat membahayakan Pedagang Kaki Lima itu sendiri karena
tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. Dikarenakan kepastian hukum yang
rawan maka hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang kurang jelas sumbernya
dengan dalih setoran/retribusi yang jumlahnya bisa diluar perkiraan kita
bahkan, terkadang pihak yang disebutkan bisa lebih dari satu. Padahal bila kita
tengok kembali ke awal tulisan ini sektor informal mengambil cukup banyak
lapangan pekerjaan dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Jalan Ganeca dan Pedangan Kaki
Lima
Sejarah Pedagang Kaki Lima di
sekitar Jalan Ganeca memang sudah cukup lama terlebih di jalan tersebut
terdapat kampus ITB dimana banyak mahasiswa yang dapat dianggap sebagai pasar
yang mejanjikan pagi Pedagang Kaki Lima. Namun sangat disayangkan bila sistem
jual beli antara pasar dan Pedagang Kaki Lima tidak terorganisir, tidak rapi
dan berantakan dalam praktiknya di lapangan. Dengan alasan tersebutlah alasan
pemerintah kota berusaha melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima di Jalan
Ganeca.
Perkara penertiban Pedagang Kaki
Lima di Jalan Ganeca memang bukan perkara mudah juga bukan perkara yang
baru-baru saja muncul namun sudah diinisiasi sejak tahun 2000an. Berawal saat
masa kepemimpinan Bapak Kusmayanto Kadiman, selaku rektor ITB masa jabatan
2001-2005, Pedagang Kaki Lima yang
berada di dalam dan sekitar ITB dilarang menjajakan makanannya di tempat mereka
biasa berjualan.Dikarenakan pemerintah kota memiliki andil yang cukup besar
tentang penertiban Pedagang Kaki Lima maka rektorat ITB dengan pemerintah kota
Bandung bekerja sama untuk menertibakannya. Dengan pembagian peran, pemerintah
kota menjanjikan tempat di Jalan Gelap Nyawang dengan pembinaan berkala dan
rektorat ITB menjaga sekitar jalan Ganeca supaya tidak ada lagi Pedagang Kaki
Lima yang berjualan. Namun seiring waktu kebijakan tersebut terasa telupakan,
disaat yang tidak jauh berbeda kebijakan rektorat seperti tidak diteruskan dan
pemerintah kota seakan lupa. Keadaan tersebut ditambah, lemahnya pengawasan
bersama antara warga sekitar dan mahasiswa. Padahal, munculnya Pedagang Kaki
Lima lebih diakibatkan akan kebutuhan mahasiswa yang besar akan jajanan yang
murah dan cepat disaat kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi penyediaannya di
dalam kampus ITB.
Tahun ini kebijakan mengenai
penertiban kembali diadakan dan kembali pula pemerintah kota mengajak rektorat
untuk berdampingan mengerjakannya. Bagaimana dengan pihak-pihak lain yang
berkaitan? Rasanya memang ada permasalahan komunikasi antara beberapa pihak
yang berkaitan yaitu informasi yang kurang jelas antara satu dengan lainnya dan
juga sangat minim sekali komunikasi yang dibangun antara pemerintah kota dengan
pihak-pihak terkait seperti perwakilan warga setempat melalui RW yang ada, juga
Divisi Pemberdayaan Masyarakat Salman dan Koperasi Pedagang Kaki Lima sekitar
Jalan Ganeca yang terdapat di lokasi tersebut. Serta masih minimnya inisiatif
dari mahasiswa ITB sendiri untuk menimbulkan ide-ide yang kreatif.
Memang dalam setiap kebijakan
pasti akan menuai kontroversi dan dalam setiap jalannya pasti akan ada masalah
yang muncul. Sepertinya, semua pihak juga berharap hal dengan tujuan yang baik
dengan cara yang baik pula. Semoga permasalahan yang dulu muncul tidak terulang
kembali dan semuanya berjalan lancar. Amin.
Gambar 3.Inisiatif masyarakat dalam bentuk kerjasama Center
for Urban Pedagogy (CUP), Sean Basinski of The Street Vendor Project, dan
Pedagang Kaki Lima di New York & Candy Chang, sumber: www.welcometocup.org