Sepertinya kita saling memendam kata yang tersimpan dalam
hati. Entah apa yang menyumbat tapi sulit sekali mulut ini hanya sekedar untuk
mengucapkan kata, “apa kabar?”. Atau mungkin aku terlalu percaya diri hingga
merasa kalau dia juga merasakan yang sama dengan yang kurasa.
“Hai, apa kabar?”, sapaku dalam hati. Seperti biasa aku tak
sanggup bertegur sapa padahal dia hanyalah selangkah di depanku. “Bodoh, bodoh,
bodoh”, seolah aku berbicara dengan diri sendiri. Hanya untuk menatap matanya
saja aku takut, aku keliyepan, entah kemana arah mataku.
Berulang kali hal yang sama terjadi. Berhari-hari aku
melakukan hal serupa. Sudah berlangsung lama sejak aku mengagumi dia, aku hanya
terus berlari entah ke arah mana yang jelas tidak sejengkalpun aku semakin
dekat dengan dia.
---
Dia seperti angin, seolah tak ada tapi selalu kurasa.
Sesekali aku melihat dia dari kejauhan, lebh tepat kalau
dibilang aku ini mencuri pandang. Seperti kebanyakan perempuan, setiap dia
menegakkan kepalanya, aku langsung sigap seolah-olah aku memperhatikan hal
lainnya.
Sesekali pula aku dengan sangat sengaja berjalan di depan
dia, persis di depannya. Berharap kalau dia menegurku terlebih dahulu lalu
berlanjut pada obrolan yang lebih jauh. Ah, tidak, tidak. Dia terlalu sibuk
sepertinya dengan buku yang selalu
bertumpuk di atas meja atau larut dalam obrolan tanpa arah dengan
teman-temannya.
Mungkin waktu akan membantuku, menghilangkan semua rasaku
tentang dia.
Terima kasih untukmu, waktu.
--
Mungkin rasa hanyalah sekedar rasa. Sampai kapanpun hanyalah
sekedarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar