Selasa, 26 Juni 2012

Cerita Dibalik Pedagang Kaki Lima


Cerita Dibalik Pedagang Kaki Lima

Siapa di antara kita yang tidak pernah makan makanan yang dijajakan di pinggir jalan? Entah itu hanya sekedar minuman dan jajanan ringan ataupun makanan berat untuk mengisi tenaga sebagai bekal melanjutkan aktivitas kita. Saya rasa dari jaman saya kecil hingga sekarang, mayoritas orang Indonesia pasti mengenal yang namanya Pedagang Kaki Lima. Bila disesuaikan dengan pertanyaan sebelumnya, yang tidak tahu Pedagang Kaki Lima mungkin belum pernah merasakan nikmatnya bersantap di pinggir jalan dengan harga yang sesuai ukuran kantong juga dalam suasana kekeluargaan yang santai.

Banyak dari kita yang dapat mudah mengenali yang mana Pedagang Kaki Lima namun bila ditanya pengertiannya mungkin perpustakaan atau toko buku menjadi tempat pelarian yang pas padahal hampir setiap hari kita melihat Pedagang Kaki Lima. Menurut Perda No.4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima merupakan pedagang yang melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. Lalu muncul lagi pertanyaan, apa itu sektor informal? Akan sangat banyak sekali informasi dan definisi mengenai sektor informal yang berperan dalam bidang ekonomi. Menurut World Bank, ekonomi informal adalah bagian yang berkembang dari ekonomi lokal dan nasional walaupun pendapatan biasanya rendah tapi secara kolektif mereka sangat bernilai yang dibagi kedalam empat kategori yaitu:
  • 1.      Pekerjaan berbasis di rumah
  • 2.      Pedagang Kaki Lima
  • 3.      Pekerja keliling/terganting permintaan/temporer di lokasi konstruksi gedung atau jalan
  • 4.      Mereka yang bekerja di antara rumah dan jalanan
  • Keseluruhan ekonomi informal ini dapat dikatakan tidak teratur, tidak terdaftar dan tidak terlindungi (Breman, 1980).

Gambar 1. Bentuk sektor ekonomi informal, sumber: www.google.com

Oke, sekarang mari kita lihat sekitar kita.
Di indonesia sendiri, dalam tiga dekade terakhir jumlah pekerja informal terus meningkat mulai dari 25% ditahun 1971 menjadi 36% dan 42% ditahun 1980 dan 1990 setelah krisis moneter bahkan semakin menjadi-jadi yaitu melebihi 60% di tahun 1999 dan terus meningkat hingga 70% pada tahun 2007 (diolah dari data BPS 2003 dan 2008). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat yang terus mengalami peningkatan hingga tahun 2007, tercatat umlah pekerja informal bertambah dari 63.8% di tahun 2005 menjadi 64.3% di tahun 2006 dan akhirnya mencapai 65.4% di tahun 2007 dari total penduduk Jawa Barat.

Yang lebih menarik lagi ternyata, keberadaan pekerja informal berkontribusi secara tidak langsung terhadap pengentasan kemiskinan karena mayoritas yang bekerja pada sektor informal berasal dari strata masyarakat yang paling miskin. Dalam keberjalanannya, Pedagang Kaki Lima pun memiliki julukan lain yaitu Pekerja Kreatif Lapangan karena menjadi sebuah alternatid pekerjaan yang cukup populer terutama di kalangan kelompok miskin kota (Resmi Setia, 2008)

Kondisi Bandung dan Sekitarnya
Kota Bandung, sebagai Ibu Kota Jawa Barat tentunya memiliki daya tarik sendiri bagi orang Indonesia apalagi Pedagang Kaki Lima. Semenjak adanya Tol Cipularang, arus kendaraan di kota Bandung dan sekitarnya mendadak menjadi ramai. Kemudahan akses kota Bandung dan sekitarnya terhadap daerah lain khususnya Jakarta membuat orang dengan berbagai macam kepentingan dapat dengan mudah pulang pergi dari Bandung. Hal tersebut tentunya menjadi peluang bagi para Pedagang Kaki Lima ini.  sayangnya peluang tersebut dilakukan dalam bentuk yang tidak rapi bisa dibilang Pedagang Kaki Lima tersebut tidak terwadahi dalam ruang publik yang formal sehingga menempati lahan-lahan publik dan memanfaatkan lokasi yang cukup strategis untuk berjualan juga memanfaatkan lokasi yang cukup strategis dimana terdapat celah juga dari aparat penegak hukum yang kurang menerapkan hukum yang seharusnya berlaku.

Gambar 2. Penggusuran Pedagang Kaki Lima, sumber www.masaguz.com

Ada banyak pandangan mengenai Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung. Bila ditengok dari sisi negatifnya maka bahaya yang timbul dapat membahayakan Pedagang Kaki Lima itu sendiri karena tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. Dikarenakan kepastian hukum yang rawan maka hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang kurang jelas sumbernya dengan dalih setoran/retribusi yang jumlahnya bisa diluar perkiraan kita bahkan, terkadang pihak yang disebutkan bisa lebih dari satu. Padahal bila kita tengok kembali ke awal tulisan ini sektor informal mengambil cukup banyak lapangan pekerjaan dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Jalan Ganeca dan Pedangan Kaki Lima
Sejarah Pedagang Kaki Lima di sekitar Jalan Ganeca memang sudah cukup lama terlebih di jalan tersebut terdapat kampus ITB dimana banyak mahasiswa yang dapat dianggap sebagai pasar yang mejanjikan pagi Pedagang Kaki Lima. Namun sangat disayangkan bila sistem jual beli antara pasar dan Pedagang Kaki Lima tidak terorganisir, tidak rapi dan berantakan dalam praktiknya di lapangan. Dengan alasan tersebutlah alasan pemerintah kota berusaha melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima di Jalan Ganeca.

Perkara penertiban Pedagang Kaki Lima di Jalan Ganeca memang bukan perkara mudah juga bukan perkara yang baru-baru saja muncul namun sudah diinisiasi sejak tahun 2000an. Berawal saat masa kepemimpinan Bapak Kusmayanto Kadiman, selaku rektor ITB masa jabatan 2001-2005,  Pedagang Kaki Lima yang berada di dalam dan sekitar ITB dilarang menjajakan makanannya di tempat mereka biasa berjualan.Dikarenakan pemerintah kota memiliki andil yang cukup besar tentang penertiban Pedagang Kaki Lima maka rektorat ITB dengan pemerintah kota Bandung bekerja sama untuk menertibakannya. Dengan pembagian peran, pemerintah kota menjanjikan tempat di Jalan Gelap Nyawang dengan pembinaan berkala dan rektorat ITB menjaga sekitar jalan Ganeca supaya tidak ada lagi Pedagang Kaki Lima yang berjualan. Namun seiring waktu kebijakan tersebut terasa telupakan, disaat yang tidak jauh berbeda kebijakan rektorat seperti tidak diteruskan dan pemerintah kota seakan lupa. Keadaan tersebut ditambah, lemahnya pengawasan bersama antara warga sekitar dan mahasiswa. Padahal, munculnya Pedagang Kaki Lima lebih diakibatkan akan kebutuhan mahasiswa yang besar akan jajanan yang murah dan cepat disaat kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi penyediaannya di dalam kampus ITB.

Tahun ini kebijakan mengenai penertiban kembali diadakan dan kembali pula pemerintah kota mengajak rektorat untuk berdampingan mengerjakannya. Bagaimana dengan pihak-pihak lain yang berkaitan? Rasanya memang ada permasalahan komunikasi antara beberapa pihak yang berkaitan yaitu informasi yang kurang jelas antara satu dengan lainnya dan juga sangat minim sekali komunikasi yang dibangun antara pemerintah kota dengan pihak-pihak terkait seperti perwakilan warga setempat melalui RW yang ada, juga Divisi Pemberdayaan Masyarakat Salman dan Koperasi Pedagang Kaki Lima sekitar Jalan Ganeca yang terdapat di lokasi tersebut. Serta masih minimnya inisiatif dari mahasiswa ITB sendiri untuk menimbulkan ide-ide yang kreatif.

Memang dalam setiap kebijakan pasti akan menuai kontroversi dan dalam setiap jalannya pasti akan ada masalah yang muncul. Sepertinya, semua pihak juga berharap hal dengan tujuan yang baik dengan cara yang baik pula. Semoga permasalahan yang dulu muncul tidak terulang kembali dan semuanya berjalan lancar. Amin.
 Gambar 3.Inisiatif masyarakat dalam bentuk kerjasama Center for Urban Pedagogy (CUP), Sean Basinski of The Street Vendor Project, dan Pedagang Kaki Lima di New York & Candy Chang, sumber: www.welcometocup.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar